Jumat, 18 April 2014

ESAI DASAR-DASAR EKOLOGI



DAMPAK USAHA PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN TERHADAP EKOLOGI SEKITAR

Dewasa ini, pertumbuhan penduduk dunia meningkat tajam. Jumlah penduduk dunia saat ini adakah sekitar 7.010.424.289 jiwa. Dibandingkan dengan tahun 1987 jumlah penduduk dunia sekitar 5 milyar jiwa. Peningkatan penduduk ini akan sebanding dengan peningkatan permintaan pangan dunia. Kegoncangan sektor pangan yang makin lama terasa diseluruh dunia setelah perang dunia II. Seluruh negara mula kehabisan cadangan makanan dan mulai bergantung  pada sisa cadangan sereal di negara-negara eksportir utama dan tanah-tanah yang “diistirahatkan” di Amerika Serikat berdasarkan program pertanian pemerintah. Setelah perang dunia II bukan berarti krisis pangan dunia turut berhenti. Gejolak krisis pangan terus-menerus terjadi di berbagai belahan bumi karena beberapa faktor tertentu, seperti harga bahan baku pertanian meningkat, masa paceklik, produktifitas hasil pertanian menurun, dan pertambahan penduduk.  Pengaruh pertambahan penduduk terhadap naiknya permintaan pangan mudah dimengerti yaitu kenaikan penduduk sebanyak 3% akan menyebabkan kenaikkan permintaan pangan sebanyak 3%, sedangkan setiap persen pertambahan penduduk akan menurunkan luas lahan/tanah pertanian yang di konversikan sebagai tempat pemukiman penduduk. Hal tersebut yang menjadi polemik krisis pangan pada era sekarang ini (Brown and Erik, 1977).
Oleh karena itu, peningkatan permintaan pangan dunia yang semakin hari semakin tajam membuat beberapa kalangan bergejolak untuk meningkatkan hasil produksi pertaniannya, khusunya tanaman pangan. Banyak cara yang dilakukan oleh berbagai negara untuk meningkatkan hasil produksi pangan untuk menghindari resiko kelaparan dan gizi buruk. Mulai dari penggalakan pertanian perkotaan, hidroponik, aeroponik, penggunaan pupuk dan pestsida berlebih dengan harapan produktivitas meningkat sampai dengan pembukaan hutan yang dikonversikan sebaagai lahan pertanian. Namun sayangnya, usaha-usaha tersebut dilakukan tanpa memikirkan dampak yang muncul pada lingkungan sekitarnya. Ketika mulai adanya semangat untuk meningkatkan hasil produksi pangan guna menghindari ancaman kelaparan sering kali manusia lalai dengan apa yang diusahakan untuk masa sekarang tanpa mempertaimbangkan dampak terhadap masa depan. Kelalaian manusia yang tidak turut menjaga kelestarian dan keseimbangan alam akan dapat mengancam keberlangsungan keseimbangan alam pada masa yang akan datang. 
Beberapa usaha tani yang dapat berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar antara lain adalah penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebih. Keberadaan bahan buangan zat imia didalam air lingkungan jelas merupakan racun yang mengganggu dan bahkan dapat mamatikab hewan air, tanaman air, dan mungkin juga manusia. Pemakaian bahan pemberantas hama (insektisida) pada lahan pertanian seringkali meliputi daerah yang luas sehingga sisa bahan insektisida pada daerah pertanian cukup banyak. Bahan insektisida didalam air sulit untuk dipecah oleh mikroorganisme, kalaupun bisa hal itu akan berlangsung dalam waktu yang lama. Bahan insektisida terkadang dicampurkan dengan senyawa minyak bumi sehingga air yang terkena buangan campuran tersebut permukaannya akan tertutupi oleh minyak tersebut kemudian akan menyebabkan menurunkan kandungan oksigen didalam air (Wardhana, 1995).
Konversi hutan menjadi lahan pertanian khususnya tanaman pangan juga merupakan salah satu pengrusakan keseimbangan alam untuk memenuhi kebutuhna pangan manusia. Salah satu contoh kasus konversi hutan menjadi lahan pertanian adalah salah satu program skala besar yaitu  program integrasi pangan dan energi di Papua, bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek MIFEE akan membutuhkan sekitar 1.28 juta hektar lahan dimana sekitar 90 persen areanya akan diambil dari pembukaan lahan hutan alami. Sasaran dari program ini adalah keamanan pangan dan energi nasional dalam menjawab tantangan keterbatasan sumber daya alam, pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim dunia. Secara alamiah, program ini akan berdampak tidak hanya pada pembangunan ekonomi, dimana ketahanan pangan adalah salah satunya, tapi juga pada kondisi sosial dan konservasi lingkungan. Dalam konteks lingkungan, ini menjadi isu penting sebab MIFEE dapat bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi gas buang yang tertuang dalam kesepakatan pemerintah dalam moratorium deforestasi.
Dunia mencatat Indonesia sebagai salah satu negara emiter terbesar di dunia akibat deforestasi dan konversi lahan yang terjadi. Keadaan ini diperburuk dengan melihat Indonesia sebagai negara kepulauan yang sudah sering mendapatkan bencana alam akibat perubahan iklim. Hasil analisis menunjukkan bahwa program MIFEE akan meningkatkan produksi pertanian sampai dengan 3.92 persen. Berita buruknya, program MIFEE ini berpotensi merusak lingkungan. Sebanyak 1.13 juta hektar yang dialokasikan untuk ekspansi pertanian akan menyebabkan penambahan emisi rumbah kaca sebesar 228 ribu ton CO2. Ini setara dengan sekitar 30 % dari total kandungan carbon hutan alami di Indonesia timur. Ini sinyalemen serius bahwa program ekspansi pertanian ini akan membebani pemerintah dalam mencapai target pengurangan emisi gas buang sebesar 26 % pada tahun 2020 (Rum & Ahmad, 2013).
Pada koran Sindo yang terbit pada tanggal 1 Desember 2013 menyatakan bahkan pemerintah negara Indonesia telah menyiapkan 17,94 juta Ha huta yang akan disulap menjadi lahan pertanian. Demi mencapai ketahanan pangan, pemerintah berupaya keras menutup defisit lahan pertanian dengan mengonversi hutan produksi. Hal tersebut disampaikan oleh menteri Pertanian Suswono, pemanfaatan hutan yang dikonversikan menjadi lahan pertnian ini juga telah disepakati oleh menteri kehutanan. Sangat ironis memang ketika pemerintah telah menyepakati rencana untuk merusak alam dengan atas nama demi ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Jika untuk mencapai ketahanan pangan Indonesia adalah alasan pemerintah sehingga berani merusak paru-paru dunia akan menjadi tidak relevan ketika sebenarnya masih ada banyak cara lain yang lebih ramah lingkungan dan mampu menjaga ketahanan pangan Indonesia.
Jika hal tersebut terus menerus terjadi, akan meyebabkan kerusakan lingkngan  dan ketidakseimbangnya alam. Yang pada akhirnya akan menjadi bomerang untuk generasi selanjutnya krisis alam akan lebih mengerikan. Tidak ada hutan sebagai sumber oksigen danparu-paru dunia, sulitnya memperoleh air bersih karena telah tercemar oleh pupuk dan pestisida kimia, akan terjadi kekeringan karena penggunaan air tanah yang berlebihan untuk dakarang ini, kelestarian makluk hidup pemakan daun-daun pepohonan akan terancam keberadaannya sehingga akan mengancam variasi gizi terutama gizi dari hewani. Akibatnya akan banyak terjadi kelapan gizi buruk, pencemaran lingkungan yang parah dan lain-lain. 
Untuk itu harunya ada keselarasan antara peningkatan produksi tanaman pangan dengan memperhatikan dampak lingkungan dan alam. Salah satunya adalah eco-farming yang meruoakan pola pertanian yang berorientasi untuk memelihara keragaman hayati dan menjaga kelestarian ekosistem. Dalam hal tertentu dalam ecofarming bisa saja memasukkan komponen pepohonan atau tumbuhan berkayu lainnya sehingga dapat disebut agroforestri. Dalam eco-farming tidak selalu dijumpai unsur kehutanan dalam kombinasinya, sehingga dalam hal ini ecofarming merupakan kegiatan pertanian. Ekofarming juga disebut sebagai Organic farming atau metode pertanian yang meminimalisir penggunaan kimia dalam proses produksinya. Prinsip utama pertanian organik adalah penggunaan input luar yang rendah yang berlawanan dengan penggunaan input luar yang tinggi.
Selain eco-farming ada yang namnya Eco-techno farming yang merupakan alternatif pola pertanian yang berupaya menyelaraskan usaha tau dengan kondisi alam (ekosistem) dan membuka diri terhadap teknologi modern, sepanjang teknologi tersebut bersifat ramah lingkungan. Dengan mengombinasi kekuatan techno-farming dan eco-farming diharapkan model pertanian yang diterapkan dapat menjaga kelestarian ekosistem, mengurangi resiko kegagalan panen, dan fluktuasi harga karena adanya keragaman komoditas. Dipihak lain, produktivitas tinggi dapat dipertahankkan, bahkan ditingkatkan. Untuk mencapai ketahanan pangan yang lebih ramah lingkungan membutuhkan motivasi yang kuat untuk dan dari petani dan yang tak kalah pentingnya adalah dukungan kebijakan dari pemerintah. Pengembangan pertanian dengan model ini menuntut koordinasi dan kerjasama yang baik antar subsektor dan antar instasi (Guntoro,2011).
Dengan demikian, untuk mencapai ketahanan pangan dan memenuhi kebutuhan pangan usaha-usaha meningkatan produksi pangan seharusnya juga mempertimbangkan keselarasan alam sekitar. Bumi ini tidak hanya manusia saja yang hidup, masih ada makhluk hidup yang lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan yang juga mememiliki bumi. Maka sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan alam dan merupakan makhluk Tuhan memiliki akal sehat yang lebih dari makhluk lain, seharusnya alam yang inndah ini kita jaga dan dirawat dengan baik. Tidak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan makhluk hidup yang lain. Apa yang kita lakukan sekarang akan menetukan massa depan anak cucu kita. Dengan kita menjaga alam yang indah ini maka anak cucu kita dapat menikmati keindahan alam yang masihh asri dan bersih.
Sumber:
Brown, Lester R. dan Erik P Eckholn. . 1974. Dengan Sesuap Naasi. Jakrta. Yayasan OBOR
Guntoro, Suprio. 2011. Saatnya Menerapkan Pertanian Tekno-Ekologis. Jakarta. Agromedia.
Wardhana, Wisnu Arya. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta. Andi Offset
Rum, Irlan Adyatma dan  Ahmad Komarulzaman . 2013. Konversi Lahan Hutan: Jawaban Bijak Untuk Keatahanan Pangan?. < http://www.ceds.fe.unpad.ac.id/publications/analisis-ceds/325-alih-fungsi-lahan-hutan-jawaban-yang-bijak-untuk-ketahanan-pangan.html > diaksses pada 13 April 2014 Pukul 07.30 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar