DAMPAK USAHA PENINGKATAN PRODUKSI
PANGAN TERHADAP EKOLOGI SEKITAR
Dewasa
ini, pertumbuhan penduduk dunia meningkat tajam. Jumlah penduduk dunia saat ini
adakah sekitar 7.010.424.289 jiwa. Dibandingkan dengan tahun 1987 jumlah
penduduk dunia sekitar 5 milyar jiwa. Peningkatan penduduk ini akan sebanding
dengan peningkatan permintaan pangan dunia. Kegoncangan sektor pangan yang
makin lama terasa diseluruh dunia setelah perang dunia II. Seluruh negara mula
kehabisan cadangan makanan dan mulai bergantung
pada sisa cadangan sereal di negara-negara eksportir utama dan
tanah-tanah yang “diistirahatkan” di Amerika Serikat berdasarkan program
pertanian pemerintah. Setelah perang dunia II bukan berarti krisis pangan dunia
turut berhenti. Gejolak krisis pangan terus-menerus terjadi di berbagai belahan
bumi karena beberapa faktor tertentu, seperti harga bahan baku pertanian
meningkat, masa paceklik, produktifitas hasil pertanian menurun, dan
pertambahan penduduk. Pengaruh
pertambahan penduduk terhadap naiknya permintaan pangan mudah dimengerti yaitu
kenaikan penduduk sebanyak 3% akan menyebabkan kenaikkan permintaan pangan
sebanyak 3%, sedangkan setiap persen pertambahan penduduk akan menurunkan luas
lahan/tanah pertanian yang di konversikan sebagai tempat pemukiman penduduk.
Hal tersebut yang menjadi polemik krisis pangan pada era sekarang ini (Brown
and Erik, 1977).
Oleh
karena itu, peningkatan permintaan pangan dunia yang semakin hari semakin tajam
membuat beberapa kalangan bergejolak untuk meningkatkan hasil produksi
pertaniannya, khusunya tanaman pangan. Banyak cara yang dilakukan oleh berbagai
negara untuk meningkatkan hasil produksi pangan untuk menghindari resiko
kelaparan dan gizi buruk. Mulai dari penggalakan pertanian perkotaan,
hidroponik, aeroponik, penggunaan pupuk dan pestsida berlebih dengan harapan
produktivitas meningkat sampai dengan pembukaan hutan yang dikonversikan
sebaagai lahan pertanian. Namun sayangnya, usaha-usaha tersebut dilakukan tanpa
memikirkan dampak yang muncul pada lingkungan sekitarnya. Ketika mulai adanya
semangat untuk meningkatkan hasil produksi pangan guna menghindari ancaman
kelaparan sering kali manusia lalai dengan apa yang diusahakan untuk masa
sekarang tanpa mempertaimbangkan dampak terhadap masa depan. Kelalaian manusia
yang tidak turut menjaga kelestarian dan keseimbangan alam akan dapat mengancam
keberlangsungan keseimbangan alam pada masa yang akan datang.
Beberapa
usaha tani yang dapat berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar antara lain
adalah penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebih. Keberadaan bahan
buangan zat imia didalam air lingkungan jelas merupakan racun yang mengganggu
dan bahkan dapat mamatikab hewan air, tanaman air, dan mungkin juga manusia.
Pemakaian bahan pemberantas hama (insektisida) pada lahan pertanian seringkali
meliputi daerah yang luas sehingga sisa bahan insektisida pada daerah pertanian
cukup banyak. Bahan insektisida didalam air sulit untuk dipecah oleh mikroorganisme,
kalaupun bisa hal itu akan berlangsung dalam waktu yang lama. Bahan insektisida
terkadang dicampurkan dengan senyawa minyak bumi sehingga air yang terkena
buangan campuran tersebut permukaannya akan tertutupi oleh minyak tersebut
kemudian akan menyebabkan menurunkan kandungan oksigen didalam air (Wardhana,
1995).
Konversi
hutan menjadi lahan pertanian khususnya tanaman pangan juga merupakan salah
satu pengrusakan keseimbangan alam untuk memenuhi kebutuhna pangan manusia.
Salah satu contoh kasus konversi hutan menjadi lahan pertanian adalah salah
satu program skala besar yaitu program integrasi pangan dan energi di
Papua, bernama Merauke Integrated Food
and Energy Estate (MIFEE). Proyek MIFEE akan membutuhkan sekitar 1.28 juta
hektar lahan dimana sekitar 90 persen areanya akan diambil dari pembukaan lahan
hutan alami. Sasaran dari program ini adalah keamanan pangan dan energi
nasional dalam menjawab tantangan keterbatasan sumber daya alam, pertumbuhan
penduduk dan perubahan iklim dunia. Secara alamiah, program ini akan berdampak
tidak hanya pada pembangunan ekonomi, dimana ketahanan pangan adalah salah
satunya, tapi juga pada kondisi sosial dan konservasi lingkungan. Dalam konteks
lingkungan, ini menjadi isu penting sebab MIFEE dapat bertentangan dengan komitmen
pemerintah dalam mengurangi emisi gas buang yang tertuang dalam kesepakatan
pemerintah dalam moratorium deforestasi.
Dunia
mencatat Indonesia sebagai salah satu negara emiter terbesar di dunia akibat
deforestasi dan konversi lahan yang terjadi. Keadaan ini diperburuk dengan
melihat Indonesia sebagai negara kepulauan yang sudah sering mendapatkan
bencana alam akibat perubahan iklim. Hasil analisis menunjukkan bahwa program
MIFEE akan meningkatkan produksi pertanian sampai dengan 3.92 persen. Berita
buruknya, program MIFEE ini berpotensi merusak lingkungan. Sebanyak 1.13 juta
hektar yang dialokasikan untuk ekspansi pertanian akan menyebabkan penambahan
emisi rumbah kaca sebesar 228 ribu ton CO2. Ini setara dengan
sekitar 30 % dari total kandungan carbon hutan alami di Indonesia timur. Ini
sinyalemen serius bahwa program ekspansi pertanian ini akan membebani
pemerintah dalam mencapai target pengurangan emisi gas buang sebesar 26 % pada
tahun 2020 (Rum & Ahmad, 2013).
Pada koran Sindo yang terbit pada
tanggal 1 Desember 2013 menyatakan bahkan pemerintah negara Indonesia telah
menyiapkan 17,94 juta Ha huta yang akan disulap menjadi lahan pertanian. Demi
mencapai ketahanan pangan, pemerintah berupaya keras menutup defisit lahan pertanian
dengan mengonversi hutan produksi. Hal tersebut disampaikan oleh menteri
Pertanian Suswono, pemanfaatan hutan yang dikonversikan menjadi lahan pertnian
ini juga telah disepakati oleh menteri kehutanan. Sangat ironis memang ketika
pemerintah telah menyepakati rencana untuk merusak alam dengan atas nama demi
ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Jika untuk
mencapai ketahanan pangan Indonesia adalah alasan pemerintah sehingga berani
merusak paru-paru dunia akan menjadi tidak relevan ketika sebenarnya masih ada
banyak cara lain yang lebih ramah lingkungan dan mampu menjaga ketahanan pangan
Indonesia.
Jika
hal tersebut terus menerus terjadi, akan meyebabkan kerusakan lingkngan dan ketidakseimbangnya alam. Yang pada
akhirnya akan menjadi bomerang untuk generasi selanjutnya krisis alam akan
lebih mengerikan. Tidak ada hutan sebagai sumber oksigen danparu-paru dunia,
sulitnya memperoleh air bersih karena telah tercemar oleh pupuk dan pestisida
kimia, akan terjadi kekeringan karena penggunaan air tanah yang berlebihan
untuk dakarang ini, kelestarian makluk hidup pemakan daun-daun pepohonan akan
terancam keberadaannya sehingga akan mengancam variasi gizi terutama gizi dari
hewani. Akibatnya akan banyak terjadi kelapan gizi buruk, pencemaran lingkungan
yang parah dan lain-lain.
Untuk itu
harunya ada keselarasan antara peningkatan produksi tanaman pangan dengan
memperhatikan dampak lingkungan dan alam. Salah satunya adalah eco-farming yang meruoakan pola
pertanian yang berorientasi untuk memelihara keragaman hayati dan menjaga
kelestarian ekosistem. Dalam hal tertentu dalam ecofarming bisa saja memasukkan komponen pepohonan atau tumbuhan
berkayu lainnya sehingga dapat disebut agroforestri. Dalam eco-farming tidak selalu dijumpai unsur kehutanan dalam
kombinasinya, sehingga dalam hal ini ecofarming merupakan kegiatan pertanian. Ekofarming
juga disebut sebagai Organic farming atau metode pertanian yang
meminimalisir penggunaan kimia dalam proses produksinya. Prinsip utama
pertanian organik adalah penggunaan input luar yang rendah yang berlawanan dengan
penggunaan input luar yang tinggi.
Selain eco-farming ada yang namnya Eco-techno
farming yang merupakan alternatif pola pertanian yang berupaya
menyelaraskan usaha tau dengan kondisi alam (ekosistem) dan membuka diri
terhadap teknologi modern, sepanjang teknologi tersebut bersifat ramah
lingkungan. Dengan mengombinasi kekuatan techno-farming
dan eco-farming diharapkan model
pertanian yang diterapkan dapat menjaga kelestarian ekosistem, mengurangi
resiko kegagalan panen, dan fluktuasi harga karena adanya keragaman komoditas.
Dipihak lain, produktivitas tinggi dapat dipertahankkan, bahkan ditingkatkan.
Untuk mencapai ketahanan pangan yang lebih ramah lingkungan membutuhkan
motivasi yang kuat untuk dan dari petani dan yang tak kalah pentingnya adalah
dukungan kebijakan dari pemerintah. Pengembangan pertanian dengan model ini
menuntut koordinasi dan kerjasama yang baik antar subsektor dan antar instasi
(Guntoro,2011).
Dengan demikian, untuk mencapai
ketahanan pangan dan memenuhi kebutuhan pangan usaha-usaha meningkatan produksi
pangan seharusnya juga mempertimbangkan keselarasan alam sekitar. Bumi ini
tidak hanya manusia saja yang hidup, masih ada makhluk hidup yang lainnya
seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan yang juga mememiliki bumi. Maka sebagai
manusia yang hidup berdampingan dengan alam dan merupakan makhluk Tuhan
memiliki akal sehat yang lebih dari makhluk lain, seharusnya alam yang inndah
ini kita jaga dan dirawat dengan baik. Tidak hanya memikirkan kepentingan
dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan makhluk hidup yang lain. Apa yang kita
lakukan sekarang akan menetukan massa depan anak cucu kita. Dengan kita menjaga
alam yang indah ini maka anak cucu kita dapat menikmati keindahan alam yang
masihh asri dan bersih.
Sumber:
Brown,
Lester R. dan Erik P Eckholn. .
1974. Dengan Sesuap Naasi. Jakrta. Yayasan OBOR
Guntoro,
Suprio. 2011. Saatnya Menerapkan Pertanian Tekno-Ekologis. Jakarta. Agromedia.
Wardhana,
Wisnu Arya. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta. Andi Offset