Selasa, 25 Februari 2014

KENAPA SEKOLAH?



SEKOLAH? BUAT APA??

Sebenarnya buat apa sih kita harus sekolah, menghabiskan 12 tahun hidup kita untuk duduk tenang dan mendengarkan appa yang diajarkan kepada kita? Buat apa sih sebenarnya ? apa ? adat istiadat? Budaya? Menjaga nama baik? Biar bisa kerja yang mapan? Biar pinter? Biar dapet penghidupan yang layak dan mapan? Biar membanggakan orang tua?  Atau biar yang lain? Apa lagi?
Mana yang kalian pilih dari semua itu?
Sebagian orang bilang buat apa sekolah? Ada juga yang bilang gak pengen sekolah, alasannya capek mikirlah, enak nyari duit aja lah, dan mungkin masih banyak lagi alasan-alasan yang lain. Kebanyakan orang tua ingin anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dari dirinya sendiri, agar hidupnya kelak nanti menjadi lebih baik. Ada pula orang tua yang membiarkan nasib pendidikan anaknya, alsannya itu terserah anaknya saja. Ada pula yang mendoronga anaknya untuk tidak sekolah, apa alasannya? Untuk apa sekolah? Heh..
Oke saya akan bahas masalah ini lebih dalam mulai dari pemikiran orang-orang mengenai kenapa mereka lebih memilih untuk menganggap bahwa sekolah itu tidak penting. Well, sebagian besar banyak orang yang tidak mampu untuk membiayai sekolah. Lagi-lagi kebodohan berawal dari biaya, uang.  . Namun apa hanya dengan sekolah kita bisa mendapatkan pendidikan?  Selain itu masih banyak alasan lain, mending kerja lah dapet duit, atau nikah aja lah, males mikir lah atau nggak usah ngapa-ngapain aja.. nganggur gitu maksudnya, Cuma seneng-seneng sama temen-temennya.  Hal yang demikian biasanya terjadi di kalangan yang secara kasta ekonomi tergolong menengah ke bawah. Pemikiran-pemikiran yang sebagian orang-orang kasta menengah ke atas menggangap bahwa itu suatu alasan bodoh atau rendahan. Disini saya tekankan, apa yang mendasari mereka yang mengatakan bahwa mereka malas untuk mikir lagi?? Kebanyakan orang hanya akan menjawab pertanyaan ini hanya dengan senyuman dan kalimat yang abstrak. Lalu apa yang mendasari mereka mengatakan bahwa lebih baik kerja aja atau nikah aja?  Bukan kah kehidupan tersebut sama saja dengan kehidupan yang berputat dengan sekolah? Sama-sama berat?
Kembali lagi pada pertanyaan apakah hanya dengan kita sekolah kita dapat mendapatkan ilmu? Haruskah kita menghabiskan sebagian hidup kita hanya buat nyari ilmu? Bukankah masih ada banyak cara untuk mencari ilmu? Lalu mengapa seolah-olah sekolah itu sangat penting, kebutuhan pokok manusia, hei, kebutuhan pokok kita itu ilmu bukan sekolah. Jujur saya juga sekolah, saya juga menghabiskan banyak waktu saya untuk mendengarkan ceramah guru/dosen.  Lalu apakah dengan pemikiran yang saya lontarkan ini lantas jadi alasan saya untuk menghentikan proses sekolah saya ini? Tentu tidak. Memang benar mencari ilmu itu tidak hanya dari sekolah, baik itu sekolah formal ataupun sekoalh non formal. Tetapi sekoalh itu seakan menjadi mindset di regulasi kehidupan kita, sebuah budaya, adat istiadat, norma. Entahlah kalimat apa yang pas untuk menggambarkan jawaban saya mengenai mengapa seakan-akan sekolah itu sangat penting?
Sekolah? Buat apa sih kita sekolah? Nyari ilmu? Nyari temen? Nyari nilai? Nyari uang jajan? Lalu apa gunanya kita sekolah? Supaya bissa kerja yang mapan? Hidupnya mapan? Tuh, banyak tuh sarjana nganggur, Cuma jualan es gerobak. Gimana? Masih pengen sekolah? Ini nih yang menjadi kelemahan pendidikan yang standarisasinya dengan bersekolah. Apakah keabstrakan ilmu yang kita dapat bisa di ukur dengan sebuah nilai yang konkret? Apakah benar akurat itu?

JANGAN TERLALU BANYAK MENGELUH



KETIKA ANDA MENYUARAKAN DUA HURUF ITU, MAKA BANYAK KERESAHAN YANG IKUT PENYEBAR



Mungkin ini perasaan saya saja atau pikiran jahat saya yang mulai meracuni saya ketika di masa-masa yang tegang ini. Saya manusia biasa, anda juga manusia biasa, kita sama-sama punya kapasitas masing-masing terhadap suatu masalah. Entah itu masalah apa pun. Kalau pun dengan saya menulis ini akan menimbulkan permasalahan yang lebih panjang, menurut saya gak masalah. Yang penting apa yang dalam pikiran saya terlampiaskan.

Kembali, seetiap manusia memiliki kapasitasnya masing-masing, akan menjadi kolaborasi yang bagus ketika manusia itu saling bekerja sama dengan menghargai kapasitasnya masing-masing itu. Bukankah begitu? Saya tidak bisa menopang beban anda selagi anda marah-marah pada saya, menangis jerit di depan saya, mengeluarkan kata-kata hina dimuka saya. Saya tidak akan bisa menopang beban anda, entah anda musuh saya, teman saya, sahabat saya, pacar saya, atau siapa saja. Justru, masalah yang anda hadapi itu akan semakin lebih berat lagi. Karena orang lain tau, kemudian dia hanya bisa mendengarkan keluhanmu itu, lalu apa lagi yang bisa ia lakukan? Menggantikan posisinya dengan posisi anda? Apakah bisa?

Walaupun Cuma sebatas kata “Ah”. Itu pun keluhan, yang sama artinya dengan anda menulis keluhan anda lebih dari tulisan ini. Esesinyapun sama sebenarnya. Meskipun anda mengatakan itu secara tidak sengaja, keceplosan. Tetap saja itu keluhan. Lalu bagaimana Tuhan akan menilai kata “Ah” itu di buku catatan amal hidup anda? Banyakkan saja, andaikan kata itu benar-benar diangga sebagai keluhan. Dan secara tidak sengaja kita mengatakan hal yang serupa berulang-ulang. Seberapa tinggi tumpukan keluhan anda dalam hidup anda yang singkat itu. Oke, manusia boleh saja mengeluh, boleh saja merasa tidak nyaman kemudian ingin mengutarakan ketidaknyamannya. Tapi pikirkan intensitasnya. Pikirkan bahwa mengeluh itu setan kecil yang sering membisiki kita.

saya manusia juga, manusia biasa seperti anda-anda ini. Apakah saya tidak pernah mengeluh hingga beraninya mengatakan hal yang demikian? Ya, tentu tidak sya manusia biasa, saya tentukan juga sering mengeluh, tetapi setidaknya saya masih bisa mengemas keluhan saya. Menjadi kata-kata yang panjang seperti ini. Dari titik ini, saya baru sadar bahwa apa yang saya tulis ini ada keluhan. Ya, terkadang kita sering terlambat bahwa kita telah mengeluh. Terlambat menyadarinya, lalu menyesal, kemudian mengeluh lagi, terlambat menyadarinya lagi, kemudian menyesal, lalu melakukanya lagi hingga begitu seterusnya.

Pikirkan baik-baik, perlakukan mulutmu itu seolah-olah seluruh hartamu yang kau punya. Jaga dia baik-baik, jangan sampai dia disalah gunakan. Walaupun Cuma kata “Ah” saja, itu mencerminkan diri kamu sedalam-dalamnya jati diri kamu. Sembunyaikan kata itu baik-baik, jangan kamu membuat sekelilingmu merasakan ketidaknyamanan yang kamu rasakan. Jaga kata itu baik-baik, dengan menutupinya dengan kata-kata yang lebih ceria meskipun menyakitkan. Dunia ini dia berporos di diri kamu. Andaikan semua manusia menganggap dirinya adalah poros dunia ini. Berapa banyaknya poros bumi yang bulat ini. Dunia ini tidak sedangkal kata “Ah” itu.

Semua akan baik-baik saja jika kamu benar-benar menyembunyikan kata itu, meskipun sesulit apapun keadaan kamu. Kenapa? Ya, karena dunia tak sedangkal kata “Ah”!

Sabtu, 22 Februari 2014

PERTANYAAN DINI HARI



Kita manusia, kita makhluk biasa, kita tidak bisa tembus pandang, menembus pintu ataupun dinding, dan kita hanya  terdiri dari jutaan bahkan milyaran sel. Manusia itu koloid begitu kata dosen kimia saya. Manusia itu hanya turunan dari tanah yang kemudian sedikit ditambah keanugerahan yang lebih. Jelas manusia hanya bongkahan daging, yang saling saling bekerjasama membentuk sistem yaitu kehidupan bumi. “Human is Thinking animal” (Yahya, 2013). Manusia sama halnya dengan tumbuhan, hewan, bakteri, virus, dan debu. Hanya saja manusia mempunyai sel-sel otak yang berkembang dengan baik sehingga dapat berpikir lebih baik daripada makhluk lain dibumi ini. Itu menurut manusia dengan bahasanya sendiri. Akan tetapi apakah kalian pernah berpikir bahwa hewan juga mempunyai keyakinan itu didalam otaknya, artinya dirinya juga merasa bahwa dia adalh makhluk yang juga dapat berpikir seperti manusia bahkan lebih baik, buktinya apa yang hewan bicarakan tidak banyak manusia yang tau artinya. Itu pun menurut hewan sendiri, begitu pula makhluk lainnya.
Akan tetapi, hewan, tumbuhan, virus, ataupun bakteri tidak mempunyai ‘sertifikat’ untuk predikat tersebut. Manusia memilikinya, yaitu pernyataan ayat di kitab suci, Al-Quran.  Manusia sangat jauh berbeda dengan malaikat. Manusia selalu memiliki kecenderungan untuk melakukan kesalahan, dosa. Tapi apakah kita tau batasan dosa itu seperti apa? Batasan yang menurut kita itu hal yang remeh, hal yang kecil yang sering kita abaikan. Selain manusia yang memiliki otak atau akal pikiran manusia juga mempunyai perasaan, entah itu sebenanya terletak di otak, dihati, atau dimana. Kalau pun di otak mengapa rasanya sering terjadi kontradiksi antara pikiran yang ada di otak dan perasaan. Kalau pun dihati, hati mana yang sebenarnya memiliki fungsi fisiologi untuk merasakan, bukan hati untuk mentralisisr racun?  Lalu dimana letak perasaan secara konkret?
Hati? Perasaan? Otak ? berpikir? Akal? Dan semuanya itu, apakah dalam satu kesatuan yang benar-benar ada? Benar-benar ada?
Manusia tidak sama dengan malaikat. Jelas. Apa yang membedakan?  Anugerah yang diberi kan? Kenapa dengan anugerah antara manusia dan malaikat? Beda porsinya?  Lalu mengapa Maha Pencipta membedakan porsi tersebut?
Apa yang diharapkan dari manusia yang hidup dimuka bumi ini? Untuk melakukan dosa? Atau untuk menebar kebaikan semata? Lalu mengapa Sang Maha Pencipta menciptakan sistem kehidupan ini? Mulai dari rahim seorang malaikat bumi, kemudian terlahir di dunia yaitu bumi, kemudian mati dialam kubur, kemudian di dunia akhirat. Mengapa harus berurutan seperti itu? Kenapa tidak manusia tidak sistem ini tidak ada, manusia tidak ada sehingga tiddak ada dosa dan pahala serta neraka dan surga pun tak ada. Mengapa tidak semua langsung berada disurga ? mengapa harus mulai dari dunia kandungan dulu, lalu bumi,lalu dan seterusnya.. banyak yang bilang apa yang terjadi sekat=rang merupakan dampak dari sejarah masa lalu. Apakah semua sistem ini hanya takhayul sejak zaman purba dan kemudian turun temurun dan mendarahdaging?
Semua misteri itu tak dapatdijawab. Semua pertanyaan tadi sulit untuk diungkapkan secara konkret, jelas, rasional tanpa adanya unsur imajinasi. Pertanyaan itupun bukan bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin mengutarakan apa yang ada dipikiran saya setelah jenuh beajar untuk UAS ( L ). Tidak ada maksud apa-apa yang menulis hal yang demikian. Mungkin banyak yang memiliki pertanyaan seperti saya diatas. Dan menurut saya pertanyaan tersebut tak perlu dijawab. Karena pertanyaan tersebut riskan akan subjektifitas, sulit dijawab secara objektif. Dengan berbagai macam idealisme para manusia di muka bumi ini. Namun jujur, pertanyaan itu benar-benar menjadi misteri dalam hidup ini.