SECERAH MENTARI
Pagi
ini, matahari terlihat cerah. Akupun seperti biasa menjalani hari-hari dengan
bersekolah. Terdengar dari lorong kelas hentakkan sepatu yang makin lama makin
dekat.
“Tania..
Tania..”
Sayup-sayup
terdengar suara orang memanggil namaku. “Hei, tumben kamu berangkat jam
segini?” celotehku ketika menyadari bahwa yang memanggilku adalah Thata,
sahabat dekatku sejak kecil. Dia adalah sahabat terbaikku, entah mengapa kami
seakan tak terpisahkan walaupun sifat kami yang berbeda namun kami saling
mengerti dan melengkapi.
“Hehehe..
Lagi pengen bangun pagi” begitu jawab Thata dengan senyum manisnya sambil
berjalan menuju ke kelas kami. “Ah, dasar kamu ya .., Tugas Biologi udah jadi?”
tanyaku kembali, “Oh, udah dong”. Obrolan kami pun terhenti ketika aku membuka
pintu kelas.
Keharmonisan
persahabatan itu takkan pernah terlupakan olehku. Adalah hal yang indah ketika
aku mempunyai sahabat seperti dia. “Thata, mau ke kantin?” tanyaku ketika bel
istirahat berbunyi. “Emh, yuk, tapi setelah itu ke perpus ya? Aku mau
mengembalikan buku yang kupinjam lusa” jawab Thata sambil menoleh ke arahku.
“Iya deh, sip!” ujarku.
Keesokan
harinya, berbeda dengan hari kemarin. Aku berangkat sedikit lebih siang dari
hari kemarin. Tampak dari tempat duduk barisan depan, Thata tersenyum, mungkin
sebagai tanda selamat datang atau mungkin itu senyum mengejek bercanda karena
biasanya aku berangkat lebih dahulu di bandingkan dia.
Pelajaran
pertama hari ini dimulai dengan adanya perkenalan murid baru dikelas kami. Kini
kelasku yang mulanya berjumlah 23 siswa bertambah 1 siswa perempuan menjadi 24
siswa. “Perkenalkan nama saya Friska Yuna Astika, saya murid pindahan dari SMA
Harapan Bangsa, Jakarta” begitu katanya ketika Bu Maya, wali kelasku
menyuruhnya untuk memperkenalkan dirinya didepan kelas.
Hari
pertamanya bersekolah di SMA ini, ia duduk di samping Thata, karena kursi yang
kosong hanya di sebelahnya Thata saja. Aku duduk di belakang, aku lihat Thata
dan anak baru itu tampak sedikit canggung.
Ketika
waktu istirahat tiba, aku mengajak Thata untuk kekantin, “Tha, kekantin gak?”,
“Emh, iya. Friska ikut kekantin yuk..” Thata pun juga mengajak Friska untuk
kekantin dengan nadanya yang terlihat masih canggung. Namun Friska menolak
dengan lembut ajakan Thata itu “Terima kasih, tapi saya tidak lapar”.
“Ow,
oke, duluan ya..” Jawab Thata
Di
perjalanan kekantin Thata bertanya kepadaku
“Menurutmu,
Friska itu gimana sih?”. “Entahlah, kan baru hari ini dia masuk, jadinya aku
tak bisa menyimpulkan bagaimana dia” Jawabku kepada Thata.
“Kenapa
bertanya seperti itu?” aku kembali bertanya
“Enggak,
gak apa-apa, Cuma tanya saja.. hehehe..”
Waktu
kian cepat berlalu, tak terasa sudah 2 bulan Friska menjadi teman sekelasku.
Banyak perubahan dari dirinya, lebih berani dan tak canggung lagi dengan yang teman
yang lain. Bahkan dia terlihat akrab sekali dengan Vira, teman sekelasku juga.
Sejak hari pertama Friska bersekolah di SMA barunya ini, Vira memanglah yang
paling dekat dengannya.
“Thata,
tunggu!” aku mengejar Thata yang hendak pulang. “Iya Ta, ada apa?” jawab Thata
sambil menoleh kebelakang.
“Sepertinya
kamu lupa sesuatu?” Kataku
“Emh
. . ., Oh ya, kayaknya bukuku ketinggalan di kelas?, benar gak?” Thata masih
tak sadar dengan janjinya kemarin.
“Bukan,
e.. toko buku, bukunya radit . .. ..”
aku mencoba mengingatkan, namun belum selesai aku mengingatkan Thata sudah
menjawabnya.
“Oh,
ya aku lupa.. maaf Ta, aku lupa ngomong
sama kamu, aku gak bisa, aku harus
ngerjain tugas kelompok Kimia itu. Maaf ya..”
Tak
biasanya Thata lupa dengan janjinya, padahal janji itu baru kemarin aku
sampaikan. Sekilas aku berfikir bahwa Thata berbeda dengan dulu. Namun harus
aku buang jauh-jauh pikiran negatif itu, mungkin karena dia benar-benar lupa
atau mungkin dia harus menyelesaikan tugas sekolahnya daripada kemauanku yang
tak penting ini.
“Ow,
hehe.. gak apa-apa kok, emangnya kamu kelompokmya siapa?” jawabku sambil
tersenyum dan mengangguk.
“Friska
dan Vira, maaf ya Ta, maaf banget..” sekali lagi Thata meminta maaf kepadaku.
“gak apa-apa kok, sudahlah lagipula beli
bukunya kan bisa kapan-kapan” aku mencoba menenangkan hatinya agar merasa tidak
bersalah lagi.
“Iya
deh, pasti nanti aku temenin beli bukunya” Thata mengiyakan kalimatku. “Iya, ya
udah deh, silahkan pulang, hati-hati ya..”
“Iya
Ta, duluan ya.” Jawab Thata.
Dibenakku
masih terfikirkan dengan sikap Thata yang tak biasanya ini. Masih saja hati
berkata dia berubah gara-gara Friska dan Vira, namun apa benar begitu. Aku tak
mau berprasangka buruk terhadap Thata, biar bagaimanapun dia tetaplah
sahabatku.
Keesokan
harinya, aku berangkat paling awal diantara teman sekelasku. Sampai pada jam
06.57 pagi Thata belum terlihat datang. Bel masuk sudah berbunyi tapi Thata
belum juga datang. Dalam hatiku bertanya-tanya, sebenarnya Thata dimana.
Akhirnya aku mengirim pesan singkat melalui ponsel genggamku.
Selang
10 menit setelah bel masuk berbunyi, Bu Maya datang, Beliau mengajar di jam
pertama untuk hari ini.
Thata
belum datang, pesan singkatku juga tidak ia balas, aku menoleh kebelakang,
barisan kursi belakang kosong 3, dan yang belum datang adalah Friska, Vira, dan
Thata. Perasaanku menjadi tak enak ketika menyadari bahwa Friska dan Vira juga
belum datang. Pikiran mengkhayal kemana-mana, dan berharap semoga tidak terjadi
apa-apa pada Thata.
“Thok..
Thok..” suara ketukan pintu kelas yang berasal dari luar.
Selang
sesaat pintu terbuka, tampak Thata, Friska, dan Vira baru datang dengan sikap
yang terburu-buru “Maaf Bu, kami terlambat”. Bu Maya tidak terlalu banyak
bertanya, beliau langsung mempersilahkan mereka bertiga untuk duduk di barisan
belakang. Seketika itu aku menoleh kebelakang lagi untuk sekian kalinya sambil
tersenyum kepada Thata.
Saat
pergantian jam, aku menghampiri Thata “Tha, hari kok telat?”
“Heh,
hehehe.. aku tadi bangunnya kesiangan” Jawab Thata sambil tertawa kecil.
“Semalem kemana?” aku bertanya lagi kepada Thata. “Ngerjain Tugas kelompok
Kimia di rumahnya Vira” Thata menjelaskan.
“Memangnya
sampai jam berapa?” aku kembali bertanya.
“Jam
1 malem, tapi aku dan Friska tidur dirumahnya Vira, udah ah.. nanya terus deh,
yang penting aku udah disini kan Ta? Tadi kamu SMS aku ya? Maaf, gak tak balas,
baru aja aku buka” Ujar Thata
“Gak
biasanya kamu nginep di rumahnya temen, ngerjain tugas sampai jam 1 malam”
Jawabku tak menghiraukan kalimat terakhir yang diucapkan Thata. Aku langsung
saja kembali ketempat dudukku. Entah mengapa aku merasa ingin menangis ketika
dia menjawab pertanyaanku seperti itu. Rasanya dialogku dengan Thata beda,
penuh dengan emosi. Tetapi aku harus menahan air mataku, segera aku menghelai
nafas agar aku merasa rileks.
Kali
ini aku tak mengajak Thata ke kantin, dia pun juga tidak mengajakku. Hari ini
aku dan Thata menjadi saling pendiam. Sebenarnya itu tak perlu terjadi
percakapanku tadi pagi, harusnya aku tak terlalu bertanya padanya, dalam hatiku
berkata menyesali percakapanku dengan Thata tadi.
Sepulang
sekolah ini juga berbeda, sama sekali dia tak menyapaku hari ini. Bahkan dia
pulang bersama Friska dan Vira, pikiranku mulai membayangkan hal negatif
tentang mereka bertiga.
Malam
ini, aku pergi bersama keluargaku untuk mencari hiburan dengan suasana malam
hari. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke mall. “Thata, itu Thata kan
Tania?” tiba-tiba mamaku bertanya. Mamaku memang sudah hafal dengan Thata,
karena memang aku dan Thata sudah bersahabat sejak kecil. “Masa sih?, mana
Ma?”. Sambil menunjukkan ke arah timur “Itu, sama siapa dia?” Aku memperhatikan
arah yang ditunjuk oleh Mamaku, memang benar itu Thata, dengan siapa dia
disini? Dalam hati mulai bertanya-tanya,
pertanyaan Mamaku juga tak ku hiraukan.
“Ma,
aku ke Thata dulu ya, nanti kalau mau pulang telepon Tania ya Ma” Aku meminta
izin kepada Mamaku. Setengah berlari aku menuju ketemapt dimana aku melihat
Thata berdiri, namun ia sudah pergi. Terlihat dari jalan sisi kananku itu
Thata. Aku mencoba mengikutinya, Thata berjalan bersama 2 orang perempuan yang
sepertinya itu tak asing bagiku. Itu Friska dan Vira, lagi, ini berbeda dari
biasanya. Thata tak pernah keluar malam bersama temannya, bahkan ke mall malam
hari seperti ini, padahal besuk bukanlah hari libur. Ketika aku tau ia bersama Friska dan Vira aku urungkan niatku
untuk menghampirinya dan menyapanya, aku lebih baik mengekornya, sebenarnya apa
yang mereka lakukan di mall malam-malam.
Sampai
mereka berhenti di suatu cafe, aku pun ikut duduk dimana aku tak terlihat oleh
mereka dan memesan makanan. Selang beberapa menit kemudian ada 2 laki-laki yang
sebaya menghampiri mereka, laki-laki itu terlihat asing dimataku, untuk sekian
kalinya aku berfikir negatif lagi tentang mereka. Tampak kedekatan mereka
dengan 2 laki-laki itu. Thata pun juga, seperti sudah lama mereka kenal.
Teleponku
berbunyi, aku lupa untuk menubah profilnya menjadi diam. Suaranya lumayan
keras, Thata sempat menoleh ke arahku, namun beruntungnya ia tak melihatku.
Mama
telepon, lalu segera aku angkat agar suara Ringtonenya tak terlalu lama dan
membuat mereka curiga. “Halo Mama” sapaku, “Kamu dimana Ta, kita mau pulang
lo?” Mamaku bertanya. “Aduh Ma, bentar ya, aku ditinggal aja deh, nanti aku
dijemput Pak Min aja, iya Ma?” jawabku sambil memperhatikan mereka bertiga.
“Tania,
memang ada apa? Masih jalan-jalan sama Thata?” Mamaku memang tak tau apa yang
sebenanya terjadi antara aku dam Thata.
“Iya
Ma, janji deh gak nyampe jam 10 pokoknya” Alasanku kepada Mama agar tak panjang
lebar lagi. “Ya udah, jangan malam-malam pulangnya, hati-hati lo Nak” kata
Mamaku.
“Iya
Ma” segera aku tutup teleponnya dan kembali mengamati mereka.
Mereka
masih terlihat bercanda, sampai aku melihat dimana tangan Thata digandeng oleh
salah satu laki-laki itu. Akhirnya mereka keluar dari mall. Aku terus mengikuti
mereka, aku tak tau, kemana tujuan mereka. Sampai pada suatu bar, pemandangan
ini sangatlah asing bagiku, mungkin begitu pula Thata.
Mereka
masuk, akupun ikut juga, walaupun setengah ragu masuk. Keramaian Bar membuatku
bingung, pusing, layaknya seorang gadis remaja polos yang tak tau apa-apa
tentang bar. Di pojok sana mereka duduk, memesan bir dan kedua laki-laki itu
menuangnya dalam gelas.
“Astaghfirullah”
aku kaget melihat itu. Laki-laki yang menggandeng Thata tadi memberikan gelas
yang berisikan bir itu ke Thata. Segera aku mencegah itu, namun terlambat,
Thata sudah meminum minuman itu.
“Thata,
jangan!” kataku terlambat
“Tania,
ngapain kamu disini?” Friska melihatku setengah mabuk.
“Kamu
itu gila tau gak Fris, kamu apain sahabat aku?” cemoohku kepada Friska. Segera
aku memegang tangan Thata untuk ku ajak pulang. Thata menyampar tanganku, dia
sudah mabuk.
“Biarin
lah Ta, lagian Thata juga mau disini” Vira ikut bicara
“Kamu
juga Vira, kalian itu bikin rusak orang tau gak sih, apa yang kalian mau dari
Thata? sejak aku udah ngrasa ada yang gak beres dari kalian” perkataanku dengan
nada penuh amarah. Aku masih berusaha meraih tangan Thata.
“Apaan
sih loe?, udahlah dia gak mau pulangkan” Friska lagi
Untuk
kedua kalinya tanganku disampar oleh Thata. Tapi aku masih tetap berusaha untuk
mendapatkan tangannya, ketiga kalinya akhirnya aku dapat meraih tangan Thata,
langsung aku tarik Thata dan keluar dari bar itu.
“Kalian
gak pantes jadi temennya Thata!” kalimatku terakhir sebelum aku keluar dari Bar
tersebut.
Aku
segera menelpon Pak Min, sopirku untuk menjemputku. Thata yang mabuk dan lemas
berbicara tak jelas. Aku menangis, air mata ini tiba-tiba jatuh melihat Thata
seperti ini. Tak berapa lama kemudian Pak Min datang, “Lansung kerumah ya Pak”
kataku kepada Pak Min.
“Iya,
Mbak Thata kenapa Mbak?” Pak Min bertanya
“Dia
mabuk, Pak” jawabku sambil masih menangis.
Sampai
di rumah, aku menyuruh Pak Min membopong Thata kekamarku. Mamaku kaget melihat
Thata seperti itu “Dia kenapa Ta?”. Aku masih saja menangis, Mamaku mencoba
,menenangkanku dan dia mulai bertanya lagi, apa yang sebenarnya terjadi. Tengah
malam itu Tante Wida, mama Thata menelpon Mama, “Halo, maaf Mbak apa Thata di
rumanya Mbak?” Mama Thata bertanya cemas.
“Iya,
Mbak, tapi biar dia tidur dirumah saya saja, ini sudah tengah malam.” Mamaku
memberi alasan. “Oh, ya sudah kalau begitu tak apa, tumben dia gak ngabarin
saya dulu kalau mau tidur di rumahnya Tania, terima kasih ya Mbak.”. Dari
pembicaraan Mama dan Tante Wida, sepertinya beliau tidak tau apa yang
sebenarnya terjadi. Tapi ya sudahlah, lagipula Thata sudah ada disini.
Keesokan
harinya, sewaktu aku bangun tidur, jendela kamarku sudah terbuka, Thata tak ada
disampingku, apa dia sudah bangun? “Thata, kamu udah bangun?”
“Hei,
baru bangun ya.? Hehehe..” Thata tersenyum
“Mandi
sana, sekolah kan?” Thata tambah, “Iya putri!” kataku sambil mencubit gemas
pipinya.
Perjalanan
rumah kesekolah aku diantar oleh Pak Min, di mobil Thata bertanya apa yang
terjadi tadi malam. Aku jelaskan semuanya, dia baru sadar dan dia menangis.
“Maaf
ya Ta, aku sekarang banyak berubah, aku salah, sekarang aku juga nakal, maaf ya
Ta . .” Thata menangis sambil memelukku
“Hei,
apa sih?, gak apa-apa kok Tha, lagi pula mungkin kamu pengen tau tentang dunia
ini lebih jauh lagi, tapi inget, banyak jebakan diantaranya” aku mncoba
menenangkan Thata agar tak menangis lagi.
Sesampainya
di sekolah, kami terlihat bahagia, bergandengan tangan berjalan kearah kelas
kami.
Mulai
hari ini semua akan baik-baik saja. Tak ada lagi yang namanya Friska dan Vira
yang mencoba mengajak Thata untuk masuk kelubang dosa. Mungkin mereka berdua
tetap menjadi teman sekelas kita, namun kita lupakan semua. Hari esok dan
seterusnya semua akan menjadi SAHABAT SECERAH MENTARI.